Medan, 25 Juli 2025 – Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Debat Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan sukses menyelenggarakan Webinar Nasional bertema “Polemik Industri PT. TPL: Penegakan Hak Konstitusional Masyarakat Adat dan Keberlanjutan Industrialisasi”. Kegiatan ini diinisiasi sebagai bentuk kepedulian mahasiswa terhadap isu agraria yang melibatkan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) dan masyarakat adat di kawasan Tano Batak.
Mereka, para mahasiswa yang tergabung dalam UKM Debat, mengatakan bahwa webinar ini lahir dari keresahan mereka sebagai putra-putri daerah yang menyaksikan langsung bagaimana persoalan ini berkembang di masyarakat. Mereka melihat bahwa polemik ini bukan hanya persoalan industrialisasi, tetapi juga berkaitan erat dengan penghormatan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat adat. Karena itulah, mereka merasa terpanggil untuk menghadirkan forum diskusi yang objektif dan terbuka, dengan harapan dapat melahirkan pemikiran-pemikiran solutif dari berbagai perspektif.
Webinar ini menghadirkan tiga narasumber yang berkompeten di bidangnya, yakni:
1. Sugianto Makmur, Wakil Ketua Apindo Sumatera Utara dan Mantan Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara.
2. Dr. Dayat Limbong, S.H., M.Hum, Ahli Hukum Agraria.
3. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU).
Sebelum pelaksanaan, mereka berusaha menjalin komunikasi dengan berbagai pihak yang terkait langsung dalam polemik ini. Mereka mencoba menghubungi perwakilan PT. TPL serta tokoh-tokoh masyarakat adat yang selama ini menyuarakan aspirasi mereka di media. Namun, upaya itu tidaklah mudah. Mereka menceritakan bagaimana proses negosiasi untuk menghadirkan semua pihak membutuhkan waktu dan energi yang tidak sedikit. Meski begitu, mereka tetap berkomitmen melanjutkan agenda ini, meskipun tanpa kehadiran langsung dari pihak-pihak tersebut. “Kami memegang prinsip bahwa diskusi harus tetap berjalan, karena dari dialoglah solusi akan ditemukan,” ujar mereka.
Dalam pemaparannya, Sugianto Makmur menegaskan bahwa penyelesaian persoalan ini tidak dapat dilakukan secara sepihak. Dibutuhkan ruang mediasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan suasana yang adil dan terbuka. “Jika memang ada kesalahan, harus ada keberanian untuk mengakui dan memperbaikinya. Namun, jika ada ruang untuk memperbaiki bersama, maka dialog harus tetap diutamakan. Kepentingan bersama harus lebih diutamakan daripada kepentingan satu pihak,” tuturnya.
Dr. Dayat Limbong dalam presentasinya menekankan bahwa negara memiliki mandat untuk menguasai dan mengelola sumber daya alam, namun bukan berarti mengabaikan eksistensi hak-hak masyarakat adat. “Tanah adat sudah ada sejak lama, bahkan sebelum negara hadir. Oleh karena itu, dalam proses industrialisasi, rasa keadilan dan penghormatan terhadap masyarakat adat harus menjadi prioritas,” tegasnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Alvi Syahrin menyampaikan bahwa pembangunan industri harus dilakukan dengan prinsip keberlanjutan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat secara luas. Ia menyayangkan ketidakhadiran pihak PT. TPL dalam diskusi ini, namun tetap mengapresiasi semangat UKM Debat untuk menyelenggarakan forum akademik ini. “Setiap pembangunan harus membawa manfaat bersama, bukan hanya untuk satu pihak. Dialog seperti ini penting untuk terus dilakukan sebagai fondasi dalam mencari solusi yang adil,” jelasnya.
Mereka berharap hasil dari webinar ini dapat membuka mata banyak pihak, terutama pemerintah, untuk melihat secara langsung dampak dari polemik yang terjadi. Mereka meyakini bahwa penyelesaian yang adil hanya bisa tercapai jika ada ruang dialog yang mempertemukan masyarakat adat, industri, serta pemerintah sebagai penengah yang netral. Bagi mereka, industrialisasi memang penting untuk pembangunan, namun tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai budaya, tanah adat, dan kesejahteraan masyarakat yang telah hidup di tanah Tano Batak selama berabad-abad.