Dalam rangka Dies Natalis ke-71, Universitas HKBP Nommensen Medan menyelenggarakan webinar internasional bertajuk “Quo Vadis Manuskrip dan Artefak Batak” pada Jumat, 26 September 2025. Acara ini merupakan kolaborasi antara Universitas HKBP Nommensen dengan Kementerian Kebudayaan RI, Kementerian Pariwisata RI dan Kedutaan Besar AS. Webinar ini dihadiri oleh para akademisi, peneliti internasional, dan pemerhati budaya Batak, serta peserta dari dalam dan luar negeri.Hadir memberikan sambutan Ibu Widyawati Putri Wardhana, BA, Menteri Pariwisata RI.
Ketua Yayasan Universitas HKBP Nommensen Dr. Effendi MS Simbolon dalam sambutannya mengatakan bahwa “Pelestarian budaya bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan secara instan, melainkan harus dimulai dari pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu langkah konkret yang dapat kita lakukan adalah dengan membiasakan penggunaan bahasa Batak dalam percakapan sehari-hari, minimal 10–15 menit, khususnya di lingkungan kampus.
“Saya mendorong seluruh sivitas akademika Universitas HKBP Nommensen untuk aktif terlibat dalam upaya revitalisasi budaya ini. Salah satunya adalah dengan mulai menggunakan aksara Batak dalam penamaan tempat, ruang, atau petunjuk arah di area kampus. Ini adalah bagian dari ikhtiar kita bersama untuk menghidupkan kembali warisan budaya yang begitu kaya dan bermakna.” ucapnya.
Sesi pemaparan materi dalam Webinar Internasional “Quo Vadis Manuskrip dan Artefak Batak” menghadirkan para peneliti dan akademisi dari berbagai negara yang menyoroti pentingnya naskah dan artefak Batak sebagai warisan budaya dunia. Narasumber pertama, Dr. Giuseppina Monaco (Peneliti Italia – Penelitian Asal Usul Koleksi Batak di berbagai Museum di Jerman). Dalam paparannya, Dr. Giuseppina Monaco menguraikan hasil penelitiannya terhadap 25 naskah Batak yang kini tersimpan di Italia, terdiri dari 10 naskah kayu dan 15 naskah bambu. Naskah-naskah tersebut awalnya dibawa oleh Elio Modigliani, seorang penjelajah abad ke-19, dari kawasan Nias Selatan ke Italia. Dr. Giuseppina menekankan bahwa pustaha Batak menyimpan pengetahuan yang kaya, mulai dari nilai etika (misalnya larangan mencuri), praktik spiritual (pembuatan jimat, ramalan masa depan), hingga aspek kehidupan sosial masyarakat Batak. Ia juga sedang mengerjakan penerjemahan buku “Batak yang Merdeka”. Tantangan yang dihadapi dalam kajian ini meliputi kondisi material naskah yang rapuh serta kompleksitas bahasa Batak klasik. Ia menegaskan pentingnya masyarakat Batak mengajukan klaim atas warisan tertulis ini, termasuk mendorong pengakuan naskah Batak sebagai warisan dunia UNESCO.
Sementara itu, Dr. Roberta Zollo, Peneliti Jerman – Naskah Batak memaparkan tentang koleksi artefak Batak yang berada di Jerman Utara, mencakup ratusan objek budaya, termasuk naskah dengan berbagai media seperti kayu, tulang, dan kertas kayu. Beberapa di antaranya digunakan dalam praktik ramalan masa depan. Dr. Zollo menegaskan pentingnya rekonstruksi dan digitalisasi naskah sebagai langkah strategis dalam upaya pelestarian. Menurutnya, digitalisasi bukan hanya melestarikan artefak yang rapuh, tetapi juga membuka akses akademik lintas negara.Materi ini membahas penelitian asal-usul koleksi naskah dan artefak Batak yang tersebar di berbagai museum di Jerman Utara.
Manguji Nababan, S.S., M.A, Kepala Pusat Dokumentasi & Studi Budaya Batak UHN Medan , Sebagai narasumber dari Indonesia. Manguji Nababan mengangkat tema revitalisasi budaya Batak melalui pendekatan berbasis naskah dan artefak. Ia menjelaskan bahwa Batak termasuk satu dari sepuluh etnis di Indonesia yang memiliki tradisi aksara sendiri, dengan garis sejarah dari aksara Brahmi, Palawi, Kadanga, hingga Batak.
Namun, Manguji menyoroti fakta bahwa sekitar 90% naskah Batak saat ini tersimpan di luar negeri, tersebar di 16 negara. Kondisi ini membuat akses terhadap warisan budaya Batak menjadi terbatas. Sebagai solusi, Manguji mendorong percepatan digitalisasi, termasuk inovasi seperti tersedianya keyboard Aksara Batak di Playstore yang dapat digunakan generasi muda untuk berinteraksi dengan warisan budaya tersebut.
Webinar ini juga mencatat tingginya antusiasme dari para peserta, yang terlihat jelas dalam sesi tanya jawab yang dinamis. Para peserta menunjukkan minat besar terhadap manuskrip dan artefak Batak, yang dipandang bukan hanya sebagai benda sejarah, tetapi juga sebagai sumber pengetahuan, spiritualitas, dan identitas budaya yang mendalam.
Keterlibatan berbagai komunitas yang peduli terhadap museum dan sejarah turut memperkaya diskusi. Salah satu sorotan menarik datang dari narasi mengenai artefak Sigale-gale, yang disampaikan langsung oleh generasi ketiga dari pembuatnya. Kehadiran mereka memberikan perspektif personal dan historis yang memperkuat urgensi pelestarian warisan budaya Batak secara menyeluruh.